Inspiring the World

Eka Maulana, ST., MT., M.Eng

mahfudz metroVIVA.co.id – Empat mahasiswa Universitas Brawijaya Malang membuat baterai bertenaga tulang ikan tuna. Mahasiswa tersebut mengajak nelayan Pantai Sendang Biru untuk memanfaatkan limbah tulang ikan tuna menjadi baterai.

“Proyek ini sudah berjalan dua bulan terakhir. Kami mengajak warga Dusun Sendang Biru Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang untuk memanfaatkan limbah tulang ikan,” kata Machfud Firmansyah, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, Rabu 27 April 2016.

Machfud dan tiga kawannya, yaitu Izza Akfarina, Maulida Aulina, dan Imam Suhaeri, berkunjung ke Dusun Sendang Biru untuk mengajak warga setempat mendaur ulang limbah tulang ikan tuna satu bulan lalu. “Mereka tertarik dan sampai sekarang kami tetap menjalin komunikasi,” katanya.

Diketahui, di Dusun Sendang Biru, limbah tulang ikan tuna banyak terbuang percuma. Mahasiswa tak kesulitan mencari tulang ikan tuna yang disebut ikan tongkol oleh penduduk setempat.

Sekali mencari, mereka mampu mendapatkan satu kilogram ikan tuna yang kemudian dihaluskan, dijemur, dan disangrai hingga kering menyusut menjadi sekitar setengah kilogram.

“Tulang ikan kami buang bagian kepala dan ekor karena terlalu keras. Di sana limbah tulang banyak ditemukan di warung setempat dan pengusaha abon. Tulangnya dibuang saja ke tempat sampah,” katanya.

Tulang ikan jadi energi

Proses mengolah tulang ikan hingga siap digunakan sebagai isi baterai memakan waktu hingga empat hari. Semakin halus dan kering bubuk tulang ikan, semakin tinggi daya yang akan dihasilkan baterai.

Bubuk tulang ikan kering yang berwarna cokelat itu mengandung Titanium Oksidan. Kemudian, dicampur dengan garam beryodium dengan perbandingan 2:1. “Perbandingannya 2 untuk serbuk ikan, dan 1 untuk garam,” katanya.

Setelah siap, Machfud kemudian menggunakan baterai kecil sebagai selongsongnya, setelah memastikan pasta di dalam baterai dibuang. Kemudian, serbuk tulang ikan dan garam dimasukkan dan dipadatkan.

Semakin padat serbuk semakin tinggi daya baterai. Setelah padat dan tertutup, baterai ditunggu selama 24 jam untuk digunakan.

“Dari percobaan kami, daya baterai bervariasi, dari 0,9 volt hingga 1,4 volt. Semakin padat isian dan semakin halus serbuk ikan memengaruhi kuatnya daya baterai,” katanya.

Limbah baterai

Radar Malang Batarai Tulang IkanDua batang baterai daur ulang bisa digunakan untuk menghidupkan jam dinding hingga deret lampu LED. Kini, mahasiswa masih mencari cara untuk memanfaatkan limbah baterai berupa pasta, yang dibuang dari badan baterai.

“Selama ini, pasta di dalam baterai kami kumpulkan dulu. Kami belum tahu akan dibuang atau diolah seperti apa,” katanya.

Machfud menyebutkan pasta baterai mengandung bahan berbahaya yang mampu mencemari lingkungan, salah satunya merkuri.

Selain itu, timnya masih membenahi dan menyusun rumusan baku isian baterai lengkap dengan berat isian serbuk tulang ikan dan garam. Selama ini, timnya belum bisa menentukan rumus pasti isian baterai, perbandingan antara serbuk tulang ikan dan garam serta daya yang akan dihasilkan.

“Kemarin belum menimbang seperti itu. Tetapi, untuk bahan baku berupa baterai bekas dan tulang ikan bisa kami dapatkan gratis. Hanya garam dapur beryodium saja yang harus beli,” tuturnya.

Baterai bekas bisa didapat di mana pun. Caranya cukup membuka pelapis luar baterai untuk membuka bagian atas baterai dan mengeluarkan pasta baterai.

Baterai tersebut mulai dikenalkan ke masyarakat penghasil limbah tulang ikan di Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang.  Dosen Jurusan Teknik Elektro, UB Malang, Eka Maulana mengaku, limbah tulang ikan yang banyak didapatkan di wilayah desa-desa pesisir pantai selama ini kurang dimanfaatkan masyarakat dan dibuang begitu saja. Berdasarkan hasil penelitian dan uji coba yang dilakukan, ternyata limbah tulang ikan memiliki kemampuan menjadi elektrolit dan penyimpan tenaga listrik dalam bentuk ion. “Berdasarkan uji coba yang sudah kami lakukan, baterai berbahan limbah tulang ikan ini mampu menghasilkan tegangan sebesar 1,4 volt,” ujar Eka, kemarin.

Saat ini, dia mengaku terus melakukan penelitian dan pengembangan terhadap baterai berbahan dasar limbah tulang ikan tersebut sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. “Kami masih akan terus melakukan penelitian. Termasuk, mencoba mencampurkan dengan bahan-bahan lainnya untuk meningkatkan tegangan listrik yang dihasilkan,” imbuhnya.

Saat ini, di kawasan pesisir pantai selatan Kabupaten Malang, menurutnya juga dikembangkan sumber listrik dengan memanfaatkan tenaga matahari yang berlimpah. Di wilayah pesisir tersebut, selalu disinari matahari rata-rata 11 jam dalam sehari. Kondisi ini sangat berpotensi untuk memanfaatkan solar cell sebagai sumber energi listrik alternatif. Khusus untuk solar cell, Eka mengaku, selama ini di jurusannya juga dikembangkan bio solar cell. Alat yang dikembangkan diberi nama Dye Sensitized Solar Cell (DSSC).

“Selama ini solar cell banyak dikenal berbahan dasar silikon. Untuk pengembangan dan aplikasinya dibutuhkan biaya besar karena semua bahan dasarnya diproduksi oleh pabrik,” ungkapnya. Bio solar cell yang dihasilkan jurusan teknik elektro ini, dikembangkan dengan memanfaatkan ekstrak daun jarak, daun pepaya, dan ekstrak buah-buahan.

Harganya diakuinya jauh lebih murah dan ramah lingkungan. Perbandingannya, untuk membuat satu modul panel solar cell dari bahan silikon yang berukuran 40 cm x 70 cm, dibutuhkan biaya sebesar Rp2 juta. Sedangkan apabila menggunakan bio solar cell, hanya dibutuhkan biaya sebesar Rp500.000. Proses pembuatannya diakuinya sangat mudah. Ekstrak daun atau buah disimpan di dalam lapisan panel surya. Fungsinya untuk menangkap energi sinar matahari. Sinar matahari ditangkap elektronya, kemudian diubah menjadi energi listrik.

“Sistemnya sama dengan proses fotosintesis yang ada pada daun tumbuhan,” ujarnya. Pengembangan bio solar cell ini sudah dilakukan beberapa tahun terakhir. Saat ini, masih dikembangkanprototype proyek ini. Satu sel dengan ukuran 1,7 cm, dari hasil uji coba mampu menghasilkan listrik berkekuatan 500-600 milivolt. Sesuai perhitungan, untuk kebutuhan listrik minimal satu rumah tangga, mencapai sekitar 300 watt. Hal ini bisa dipenuhi dengan penggunaan tiga modul bio solar cell yang setiap modulnya berukuran 40 cm x 70 cm.

Petra Prasojo, warga Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, mengaku, pengembangan sumber energi listrik alternatif ini sangat dibutuhkan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Selain ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah yang ada di lingkungan sekitar, harga sumber energi listrik alternatif ini juga terjangkau.

“Kami sangat membutuhkan adanya transfer teknologi tepat guna agar kebutuhan sumber energi listrik di lingkungan kami dapat terpenuhi. Selain itu, lingkungan pesisir juga menjadi semakin lestari,” ungkapnya.

 

Sumber: Viva News, Koran Sindo, MetroTV News, Liputan6.com

 

Both comments and pings are currently closed.